Kerajaan Ternate – Sejarah Lengkap, Awal Mula, Raja, Kejayaan dan Kebudayaan

Kerajaan Gapi atau lebih dikenal dengan Kerajaan Ternate berdiri sejak tahun 1257. Salah satu dari empat kerajaan Islam di Kepulauan Maluku yang didirikan oleh Baab Masyhur Mulamo yang memerintah pada tahun 1257 hingga 1272 Masehi. Tidak ada informasi yang jelas dalam sumber sejarah yang menyatakan bahwa ia atau raja penerusnya beragama Islam.

kerajaan ternate

Sebagai salah satu kerajaan Islam tertua di nusantara, Kerajaan Ternate mencapai puncak kejayaannya pada awal abad ke-16 berkat terkenalnya perdagangan rempah-rempah hingga Eropa.

Awal

Pada awal abad ke-13, para pelancong dan pedagang mulai mengunjungi Pulau Ternate. Penghuni pertama Ternate merupakan penduduk eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate terdapat 4 desa yang masing-masing desa dipimpin oleh seorang mamola (kepala marga). Merekalah yang pertama kali menghubungi para pedagang yang datang dari berbagai tempat untuk mencari rempah-rempah.

Penduduk Ternate semakin beragam dengan bermukimnya para pedagang Jawa, Arab, Cina, dan Melayu. Karena perdagangan yang semakin intens dan seringnya bahaya dari bajak laut, atas inisiatif Momole Guna, pemimpin Tobona, diadakan musyawarah untuk membentuk organisasi yang lebih kuat dan mengangkat satu pemimpin sebagai raja.

Pada tahun 1257, Momole Ciko, pemimpin Sampal, terpilih dan diangkat menjadi lutut (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272). Kerajaan Gapi berpusat di desa Ternate yang semakin besar dan sibuk dalam perkembangan selanjutnya, sehingga penduduknya disebut juga Gam Lamo atau desa besar (kemudian masyarakatnya disebut Gam Lamo Gamalama). Kota Ternate menjadi lebih besar dan populer, sehingga orang lebih suka mengatakan bahwa itu adalah kerajaan Ternate dan bukan kerajaan Gapi. Di bawah kepemimpinan beberapa generasi penguasa berturut-turut, Ternate berkembang dari kerajaan yang hanya menempati pulau kecil menjadi kerajaan paling berpengaruh dan terbesar di Indonesia bagian timur, khususnya di Maluku.

Kedatangan Islam

Tidak ada catatan kapan Islam pertama kali datang ke Ternate, namun Kolono Marhum adalah raja Ternate pertama yang memeluk Islam setelah mendapat petunjuk dari seorang ulama Islam Minangkabau, Datu Maulana Husen, salah satu murid Sunan Giri, yang datang ke Ternate pada tahun 1465.

Jika kita mengambil informasi di atas sebagai acuan, kita dapat mengatakan bahwa Islam didatangkan dan disebarkan oleh para ulama dari Malaya dan Jawa. Namun sumber M. Shaleh Putuhena berdasarkan tradisi lisan menunjukkan bahwa Islam di Maluku disebarkan oleh para pedagang Arab yaitu Syekh Mansur, Syekh Amin dan Syekh Umar.

Dari sumber-sumber di atas dapat disimpulkan bahwa penduduk Ternate sendiri mengenal Islam sejak abad ke-13 dari para pedagang Arab, namun Islam mulai menyebar dan berkembang di Ternate baru pada abad ke-15, mungkin hal ini disebabkan oleh pendekatan yang dilakukan oleh para pedagang Arab. pendeta Melayu. Dakwah orang Jawa lebih mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat Ternate.

Sepeninggal Marhum, ia digantikan oleh putranya Zainal Abidin. Dialah yang menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan dan meninggalkan gelar sultan demi sultan, menerapkan syariat Islam, dan mendirikan lembaga kerajaan sesuai syariat Islam dengan melibatkan para ulama.

Langkah tersebut kemudian diikuti oleh seluruh kerajaan Maluku lainnya, hampir tidak berubah. Ia juga mendirikan madrasah pertama di Ternate. Sultan Zainal Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan belajar kepada Sunan Giri di Pulau Jawa. Di sana ia dikenal sebagai Sultan Bualawa (Sultan Cengkih).

Kedatangan Portugis

Pada masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate semakin berkembang, penduduknya harus berpakaian Islami, teknik pembuatan kapal dan senjata yang diperoleh dari Arab dan Turki digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate. Pada masa ini, pada tahun 1506, orang Eropa pertama, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema), tiba di Kepulauan Maluku.

Pada tahun 1512, Portugal pertama kali menginjakkan kaki di Ternate di bawah pimpinan Francisco Serrao, dengan persetujuan Sultan, Portugal diperbolehkan mendirikan pos perdagangan di Ternate. Portugal datang bukan hanya untuk berdagang tetapi juga untuk menguasai perdagangan rempah-rempah, pala, dan cengkeh di Maluku.

Kedekatan Sultan dengan Portugis menimbulkan keresahan sosial. Apalagi mereka ikut campur dalam urusan dalam negeri kerajaan, antara lain: dalam penunjukan dan penunjukan pewaris takhta. Menurut sumber terpercaya, Sultan Bayanullah meninggal akibat diracuni oleh orang-orang terdekatnya yang kecewa dengan kebijakannya.

Perang sipil

Sultan Bayanullah wafat dengan meninggalkan ahli waris yang masih sangat muda. Janda Sultan, Permaisuri Nukila, dan Pangeran Taruwese, adik mendiang Sultan, bertindak sebagai pengawal. Permaisuri Nukila yang berasal dari Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore dalam satu mahkota, yaitu salah satu dari kedua putranya, Pangeran Hidayat (kemudian menjadi Sultan Dayalu) dan Pangeran Abu Hayat (kemudian menjadi Sultan Abu Hayat II). Sedangkan Pangeran Tarruwese menginginkan takhta untuk dirinya sendiri.
Portugal memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba mereka hingga pecah perang saudara. Kubu Permaisuri Nukila didukung oleh Tidore dan Pangeran Taruwese oleh Portugal. Setelah kemenangan tersebut, Pangeran Taruwese dikhianati dan dibunuh oleh Portugal. Gubernur Portugis bertindak sebagai penasihat kerajaan dan berkat pengaruhnya, berhasil meyakinkan dewan kerajaan untuk mengangkat Pangeran Tabarija sebagai sultan. Namun ketika Sultan Tabariji mulai menunjukkan permusuhan, ia difitnah dan diasingkan ke Goa, India. Di sana ia dipaksa oleh Portugal untuk menandatangani perjanjian yang menetapkan Ternate sebagai kerajaan Kristen dan pengikut Kerajaan Portugal, namun perjanjian tersebut ditolak mentah-mentah oleh Sultan Khairun (1534-1570).

Perlawanan terhadap Portugal

Perlakuan Portugal terhadap saudara-saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad mengusir Portugal dari Kepulauan Maluku. Tindakan bangsa Barat ini pun menuai kemarahan masyarakat yang akhirnya memihak Sultan Khairun. Sejak masa Sultan Bayanullah, Ternate merupakan salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam utama di nusantara pada abad ke-16, selain Aceh dan Demak pasca jatuhnya Malaka pada tahun 1511. Ketiganya membentuk Triple Alliance untuk menghentikan kemajuan Portugal ke nusantara.

Tak ingin menjadi Malaka yang lain, Sultan Khairun mengobarkan perang untuk mengusir Portugal. Posisi Portugal saat ini sudah sangat kuat, selain mempunyai benteng dan pusat kekuasaan di seluruh Kepulauan Maluku, juga mempunyai sekutu suku pribumi yang bisa dikirim untuk memblokade Ternate. Ketika Aceh dan Demak terus mengancam posisi Portugal di Malaka, Portugal di Maluku kesulitan mendapatkan bala bantuan dan terpaksa memohon perdamaian kepada Sultan Khairun. Dengan cerdiknya, Gubernur Portugis Lopez de Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan akhirnya secara brutal membunuh Sultan yang datang tanpa perlindungannya.

Pembunuhan Sultan Khairun semakin mendorong masyarakat Ternate untuk menyingkirkan Portugal. Bahkan seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah (1570-1583), dan pos-pos Portugis di seluruh Maluku dan Indonesia bagian timur diserang. Setelah 5 tahun berperang, Portugal akhirnya meninggalkan Kepulauan Maluku pada tahun 1575. Di bawah kepemimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaannya, wilayah kekuasaannya terbentang dari Sulawesi bagian utara dan tengah di barat hingga Kepulauan Marshall di timur, dari Filipina Selatan di utara hingga kepulauan Nusa Tenggara di selatan.

Sultan Baabullah disebut sebagai penguasa 72 pulau yang semuanya berpenghuni, menjadikan Kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia bagian timur. kecuali Aceh dan Demak yang kemudian menguasai wilayah barat dan tengah nusantara. Masa keemasan ketiga kesultanan ini pada abad ke-14 dan ke-15, sengaja atau tidak, terpinggirkan dalam sejarah bangsa, padahal merekalah pilar pertama penahan kolonialisme Barat.

Kolonisasi Belanda

Sepeninggal Sultan Baabullah, Ternate mulai melemah, Kerajaan Spanyol yang bersatu dengan Portugal pada tahun 1580 berusaha merebut kembali kekuasaan atas Kepulauan Maluku dengan menyerang Ternate. Dengan semakin menguatnya kekuatan baru Spanyol di Filipina, Ternate pun menjalin aliansi dengan Mindanao untuk memukul mundur Spanyol namun gagal, Sultan Said Barakati malah ditangkap oleh Spanyol dan diasingkan ke Manila.

Kekalahan demi kekalahan memaksa Ternate meminta bantuan Belanda pada tahun 1603. Akhirnya Ternate berhasil menghentikan Spanyol, namun dengan biaya yang sangat mahal. Belanda akhirnya perlahan-lahan menguasai Ternate. Pada tanggal 26 Juni 1607, Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Kepulauan Maluku dengan imbalan bantuan Belanda terhadap Spanyol. Pada tahun 1607, Belanda juga membangun Benteng Oranje di Ternate yang merupakan benteng pertama mereka di nusantara.

Hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara Belanda dan Ternate sejak awal menimbulkan ketidakpuasan terhadap penguasa dan bangsawan Ternate. Diantaranya adalah Pangeran Hidayat (15??-1624), raja muda Ambon dan mantan bupati Ternate, yang memimpin perlawanan terhadap kedudukan sultan dan Belanda. Ia mengabaikan perjanjian monopoli perdagangan Belanda dengan menjual rempah-rempah kepada pedagang Jawa dan Makassar.

Jatuhnya Ternate

Beberapa sultan Ternate berturut-turut terus berjuang untuk merebut Ternate dari cengkeraman Belanda. Dengan keterbatasan pilihan karena terus diawasi, mereka hanya mampu diam-diam mendukung perjuangan rakyatnya. Akhirnya pada tahun 1914, Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896–1927) mengerahkan perlawanan rakyat di wilayah yang dikuasainya, dimulai dari wilayah Banggai di bawah pimpinan Hairuddin Tomagoli, namun tidak berhasil.

Di Jailolo, penduduk Tudowongi, Tuwada dan Kao di bawah pimpinan Kapita Banau berhasil menimbulkan kerugian bagi Belanda. Banyak tentara Belanda terbunuh, termasuk pengontrol Belanda Agerbeek, dan markas besar mereka dijarah. Namun karena keunggulan militer Belanda dan persenjataan yang lebih lengkap, perlawanan dapat dikalahkan, Kapita Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sultan Haji Muhammad Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan tersebut, oleh karena itu berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda tanggal 23 September 1915 no. 47, Sultan Haji Muhammad Usman Syah dicopot dari jabatannya sebagai Sultan dan seluruh harta bendanya disita. Pada tahun 1915 ia diasingkan ke Bandung dan meninggal di sana pada tahun 1927.

Setelah jatuhnya Sultan Haji Muhammad Usman Syah, jabatan Sultan kosong selama 14 tahun, dan pemerintahan adat dipimpin oleh Jogugu dan dewan kesultanan. Pemerintah Hindia Belanda ingin membubarkan Kesultanan Ternate, namun niat tersebut tidak terlaksana karena khawatir akan adanya reaksi keras yang dapat memicu pemberontakan baru, padahal Ternate jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia.

Kesultanan Ternate masih tetap eksis, merayakan 750 tahun berdirinya, meski hanya sekedar simbol budaya.

Raja Ternate
Lutut dan Sultan Ternate
Baab Mashur Malamo 1257 – 1277
Jamin Qadrat 1277 – 1284
Komala Abu Said 1284-1298
Bakuku (Kalabata) 1298 – 1304
Ngara Malamo (Komala) 1304 – 1317
Patsaranga Malamo 1317-1322
Cili Aiya (sesi Arif Malamo) 1322–1331
Spanduk Malamo 1331–1332
Syah Alam 1332-1343
Tulu Malamo 1343 – 1347
Kie Mabiji (Abu Hayat I) 1347 – 1350
Ngolo Macahaya 1350 – 1357
Momole 1357 – 1359
Gapi Malamo I 1359-1372
Gapi Baguna I 1372 – 1377
Komala Pulu 1377 – 1432
Marhum (Gapi Baguna II) 1432 – 1486
Zainal Abidin 1486 – 1500
Sultan Bayanullah 1500 – 1522
Hidayatullah 1522-1529
Abu Hayat II 1529 – 1533
Tabariji 1533 – 1534
Khairun Jamil 1535 – 1570
Babullah Datu Syah 1570 – 1583
Disebutkan Barakat Syah 1583-1606
Mudaffar Syah I 1607-1627
Hamzah 1627 – 1648
Mandarsyah 1648-1650 (periode pertama)
Manila 1650 – 1655
Mandarsyah 1655-1675 (periode kedua)
Sibori 1675 – 1689
Disebutkan oleh Fatahullah 1689-1714
Amir Iskandar Zulkarnain Syaifuddin 1714 – 1751
Ayan Syah 1751-1754
Syah Mardan 1755 – 1763
Jalaluddin 1763 – 1774
Harunsia 1774 – 1781
Achral 1781 – 1796
Muhammad Yasin 1796 – 1801
Muhammad Ali 1807-1821
Muhammad Sarmoli 1821-1823
Muhammad Zain 1823-1859
Muhammad Arsjad 1859 – 1876
Ayanhar 1879 – 1900
Muhammad Ilham (Lutut Ara Rimoi) 1900 – 1902
Haji Muhammad Usman Syah 1902-1915
Iskandar Muhammad Jabir Syah 1929 – 1975
Haji Mudaffar Syah (Mudaffar Syah II) 1975 – 2015